-->








about


a myriad of fatelessness of an idiotic existential self who strives (but not THAT hard) to be a writer.
vaguely kafkaesque in contents, seize the day nevertheless.
do not let me revive posthumously.

i dig...


Online Library of Liberty
The New Yorker
The Independent
JalanTelawi.com

writings


Mel
Buddhi Hekayat
Fathi Aris Omar
Mike
Lokman
Eekmal
Myoda

leave a msg


archive


  • 10/30/05
  • 02/09/06
  • 02/10/06
  • 02/16/06
  • 05/06/06
  • 06/13/06
  • 06/22/06
  • 06/27/06
  • 04/01/07
  • 04/12/07
  • 04/16/07
  • copyrights


    2006 © si tolol
    site design/layout 2006© mel
    original art(s) from DaDa Online








    Untitled II {Poetry} 
    “Mere reflection of light,”
    All fairest beauty falls unto;
    duelling trusting words, tomorrows’ picnic going panic, ditty laughters, eyes caught sight…

    Silence swingsinging vastly spaceout;
    sightseeing Van Goghesque alzheimeric erudity possibly you and I, doubt.

    I should have kissed here
    at the shadow in the dark first descended
    Thence there she stood idol revered
    I dream I dear

    Untitled {Poetry} 
    Hell the stairs are winding heading into a war full of butterflies and satans with ponds turn as lakes eating innocent souls rabbit rabbi ribbit mumbling can’t talk can‎’t stop can’t be dull lullaby dream of you naked hugging toy looks like him/me/I was there burn burn burn like a witch am giggling am not you don’t like me.
    PLEASE GIMME MINE WANT

    Refuting {Poetry} 

    One’s another word for dream: failure
    I’d like to think of it as subject of a bohemic epicure
    Who has lost his taste for art and succumbing into whatsoever love films
    imprisioned by scribbling words of Neruda, Whitman, and/or whosoever pseudo poet de jure
    intoxicated drunken sensation of holy holy holy CRUSH

    this shielded fort is slowly collapsing
    flanked attacked side forthwith with just one feeling
    God or rather Burroughs slays THAT’S WHAT YOU GET FOR FUCKING


    Suicidal Blue {Poetry} 
    "She asked what am I scared of most? He shuddered then, remembering feeling said he".

    You are now my zoisite/suicide
    shining blue bright, shackles and fetters yet liberates
    every single soul lusts for yr right

    The existential being of yours runs deep in my veins,
    subliminal, shocks and executes tyranically beautifully Marie Antoinette
    eyes shut tight --- shouting "viva de amore!"

    I am hung crucifixed
    Under the fourteenth hour sun below the blessed divinity raking of fouled incense pre-mixed
    Wherefore a lightning strikes and makes a hole out of the body
    Taking away conscientious sanity he declared sacred today doomy

    Now you are my suicide/zoisite
    Please please O please stay bright
    "[I am] psycho cracked".


    Infidel {poetry} 

    I am hypnotized by
    the dark brownish light of yr eyes,
    pampered, seemingly indolent though raving-mad;
    innocently sighed I could do nothing.

    It is but a shadow that talks stalk.
    It is as though but a hopeless dream that an imaginary me walks
    - clouds of deepset longing and deserts of wanting etc -
    like a great poet rambled it "drifts like a poor (drunken) little boat."

    I want you in order to begin to want and like and hold and love you,
    but I did not find the rarity you earlier in the scarcity of the world,
    the sealed fidelity I suppose, cogito ergo sum*
    if not so, would you then find me here?

    {terjemahan} Catatan Dari Bawah Tanah III 
    III

    Dapatlah dilihat, orang yang tahu bagaimana untuk menuntut bela dan, umumnya, bagaimana untuk mempertahankan diri sendiri - bagaimanakah mereka, rasa-rasa kamu, melakukannya?

    Mereka, biar kita andaikan, terlalu terperangkap dengan perasaan penebusan dendam yang selagi perasaan itu berlarutan selagi itulah tiada apa dalam diri mereka kecuali perasaan pembalasan dendam itu sendiri. Lelaki sedemikian menumpukan terus kepada impiannya, sepertinya si lembu gila, dengan tanduk terhunus, dan hanya mungkin tembok keras dapat menundukkannya. (Kemungkinan, di hadapan tembok batu itu, lelaki semacam itu, yakni, orang-orang biasa dan penggerak-penggerak, seperti biasanya dengan segera mengundur diri. Kepada mereka tembok batu bukanlah satu cabaran sepertimana satu cabaran, sebagai contoh, kepada kita orang yang berfikir, disebabkan kita orang yang berfikir, tidak berbuat apa-apa; ia bukanlah satu alasan untuk memalingkan muka, satu alasan dimana salah seorang dari jenis kita sendiri tidak mempercayainya, namun selalu sangat bangga kerananya. Tidak, mereka mengundur diri setulus hati. Tembok batu menguatkan semacam pengaruh ketenangan kepada mereka, semacam pengaruh moral yang tetap dan muktamad, dan mungkin juga suatu yang mistik... Namun akan ku ceritakan perihal tembok batu itu kemudian nanti.)

    Jadi, jenis orang biasa itu yang aku anggap sebagai orang biasa yang nyata , sepertimana gizi alamnya (mother nature) sendiri ingin melihat dirinya bila dia dengan kasih-sayang dilahirkan di dunia ini. Aku cemburu pada lelaki semacam itu dengan sepenuh kekuatan hatiku yang kecewa.

    Dia bodoh - tidak ku menyangkal itu. Tetapi mungkin orang yang biasa perlu jadi bodoh. Bagaimanakah boleh kamu mengetahuinya?

    Nah, mungkin yang ini pun cantik. Dan aku semakin percaya dengan - bolehkah kita cakap? - kesangsian, sebab kalau kita ambil, sebagai contoh, lawannya lelaki biasa, iaitu, lelaki yang tinggi citarasanya, yang tentunya tidak tercerna dari didikan alam, tetapi dari tabung uji (ini hampir jauh dari pemikiran kita, budiman sekalian, tetapi aku, tetap, mengesyakinya), jadi lelaki hasil tabung uji ini kadangkala menyerah diri kepada antitesisnya ke satu tahap di mana disebabkan sikapnya yang cepat tersinggung dia dengan jujurnya mengaku dirinya seekor tikus daripada seorang lelaki.

    Aku persembahkan kepada kamu ia adalah seekor tikus yang amat hebat kewarasannya, namun ia tetap seekor tikus, walhal seorang lagi seorang lelaki, lalu kerananya....dll. Dan, yang paling penting, dirinya sendiri - oh, ya, dia dalam lahiriahnya - menganggap dirinya sang tikus; tak siapa mengarahnya sebegitu; dan inilah perkara yang paling utama.

    Jadi, sekarang marilah kita memperhatikan sang tikus ini dalam tindakannya. Biar kita mengandaikan, sebagai contoh, yang perasaannya disakiti (dan perasaannya hampir selalunya disakiti), dan yang ia juga mahu membalas dendam. Di situ mungkin akan ada penimbunan benci yang lebih banyak dalam dirinya daripada dalam l'homme de la nature et de la verite. Sedikit kemahuan yang jijik dan keji untuk membalas sesiapa yang telah menyakitkan hatinya dengan sewenang-wenangnya kemungkinannya lagi keji dari l'homme de la nature et de la verite; kerana sifat bodohnya yang semulajadi l'homme de la nature et de la verite memandang penebusan dendamnya hanya sebagai soal keadilan sebaliknya disebabkan kuatnya merajuk si tikus itu menyangkal adanya apa-apa soal keadilan di sini.

    Kesudahannya kita sampai ke perkara pokok sebenar, kepada perlakuan penebusan dendam.

    Si tikus yang dukacita sudah berjaya mengumpulkan - dalam susunan pertanyaan-pertanyaan dan syak wasangka - muslihat-muslihat keji yang sebegitu banyak hasil dari muslihat kejinya yang asal; ia sudah menghimpunkan sebegitu banyak soalan-soalan yang tidak dapat diselesaikan melingkari setiap satu soalan sehingganya ia tenggelam dalam peraman beracun, lubuk busuk yang terhasil dari syak wasangkanya, kebingaran [keributan] jiwanya, dan yang terakhir, kemualan yang disarungkan oleh penggerak-penggerak biasa dari hujung kaki ke hujung rambut sedang mereka berdiri dalam bulatan dengan penuh adat-istiadat sebagai hakim-hakim dan diktator-diktator dan ketawa berdekah-dekah kepadanya.

    Jadi, tentu sekali, apa yang tinggal untuk ia lakukan ialah dengan menyingkirnya dengan lambaian tapak kaki kerdilnya bersama penghinaan dan dengan senyuman kepura-puraan penuh kemualan, yang mana ia tidak mempercayai dirinya sendiri, seterusnya dek malu tergesa-gesa kembali ke lubangnya. Di situ, di dalam lubang bawah tanah yang busuk dan jijik, si tikus kita yang disakitkan hatinya, dicemuh dan dikalahkan itu mencebur ke dalam dendam yang dingin, berbisa dan, yang paling teruk, kemarahan tanpa maaf!

    Untuk empat puluh tahun ia akan tanpa henti memperingati celaannya sehingga ke perincian yang terakhir dan paling malu sekali, dan akan, selain tambahan kepada perincian termalu sekali yang sedia ada, dengan dendam ia membimbangi dan menghairahkan diri bersama ilusinya. Ia akan malu dengan khayalan sendiri, tetapi apapun semuanya akan diingati, diperiksa dengan benar-benar teliti, dibayangkan semua jenis macam kesalahan-kesalahan yang terfikir dengan dalih yang ia, juga, mungkin sepatutnya berlaku, dan tidak akan memaafkannya.

    Barangkali benar ia akan mulakan penebusan dendamnya, tetapi, melihatkannya, dengan acuh tak acuh, dalam semua macam cara remeh-temeh, dari belakang dapur, menyamar, tidak langsung mempercayai haknya untuk menuntut bela, tidak juga percaya kejayaan penebusan dendamnya, dan awal-awal lagi tahu yang hasil cubaan-cubaan untuk menuntut bela ia akan menderita seribu kali lebih teruk daripada lelaki yang didendami, yang mungkin takkan langsung mengambil kisah atas kesakitannya. Malahan ketika menunggu saat kematiannya pun ia akan ingat semuanya bersama faedah terkumpul selama masa itu, dan.... Dan ialah hanya di kekecewaan tak seberapa dan separuh keyakinan yang dingin dan membencikan itu - dikesedaran menguburkan diri sendiri hidup-hidup atas kepiluan untuk empat puluh tahun itu - di keputus-asaan yang benar-benar diertikan, tetapi untuk satu tahap ragu-ragu, terhadap keadaan diri sendiri itu - di semua racun kemahuan-kemahuan yang tak tercapai yang telah terpendam itu - di demam keraguan-keraguan, keputusan-keputusan yang diambil dengan tegas, dan kekecewaan yang timbul hampir ketika itu juga ke atas mereka - bahawa dengan inti kegembiraan itu aku menghamburkan penipuan.

    Ia sangat halus dan kekadang sangat susah dicerna oleh akal waras seseorang bahawa orang yang mindanya terbuka luas juga sedikit terbatas, ataupun lebih mudah seseorang yang sangat kelam-kabut, takkan memahami satu apapun darinya.

    "Mungkin," akan dilebihkan dengan seringai mu, "mereka yang tidak pernah ditampar mukanya takkan memahaminya, juga," dan dengan cara beradab sebegitu memberiku suatu maksud yang aku juga mungkin pernah ditampar muka ku selama hidupku dan oleh sebab itu aku membebel dengan kuasa sah. Ku yakin itulah yang difikirkan mu. Tetapi jangan kau bimbang, wahai budiman sekalian, tak pernah ku ditampar muka ku, dan satu haram apa pun aku tak kisah apa yang kamu fikirkan tentangnya. Sangat munasabah aku meminta maaf untuk tidak memiat telinga secukupnya sepanjang hidupku. Tetapi cukuplah! Takkan ada sambungan tentang perihal ini yang nampaknya sangat menarik hati mu.

    Biarku dengan tenang menyambung cerita tentang orang yang kuat semangatnya yang tidak memahami kiasan keseronokan yang dibicarakan oleh ku.

    Biarpun dalam beberapa keadaan budiman sebegini boleh jadi meraung sekuat hati mereka seperti si lembu-lembu, dan sungguhpun ini, bisa diandaikan, memberi mereka penghormatan yang tinggi, namun seperti yang dikatakan ku, mereka dengan segeranya menyerah bila berhadapan kemustahilan. Kemustahilan kepada mereka bersamaan satu tembok batu. Tembok batu yang bagaimana? Oh, hukum alam, tentunya, ikhtisar-ikhtisar sains alam, matematik.

    Apabila, misalannya, terbukti kepada kamu bahawa kamu adalah berketurunan monyet, jadi tidak perlulah menarik muka kerananya: kamu cuma perlu menerimanya.

    Apabila mereka buktikan kepada kamu bahawa setitik dari lemak mu mesti, mengikut lazimnya, lebih bernilai kepada kamu daripada seratus ribu pengikut mu mahupun semua itu kononnya kebaikan dan kewajiban dan juga khayalan dan prasangka sia-sia yang lain-lain adalah, hasil dari pertimbangan tadi, tidak penting sama-sekali, lantas perlulah kamu menerimanya samada suka atau tidak, sebabnya ganda-dua - matematik. Cuba sangkalkan yang itu.

    "Tuhan ku," jeritnya mereka kepada kau, "takkan mungkin dapat ia dinafikan: dua darab dua ialah empat!"

    Alam tak pernah peduli perasaan kau; tak pernahnya Ia peduli permintaan-permintaan mu atau samada kau suka atau tidak hukum-hakamnya. Kamu bertanggungjawab menerimanya seadanya dan, oleh kerana itu, semua takdirnya. Tembok batu, semestinya, ialah tembok batu...dll., dll." Namun, demi maruah, buat apa perlu aku peduli semua hukum-hakam alam serta aritmetik jika kerana beberapa sebab atau sebaliknya aku benci undang-undang yang ganda-dua? Tak diragukan aku takkan mungkin memecahkan tembok batu sebegitu dengan sondol jendul ku, kalau tak termampu kekuatanku melakukannya, tetapi takkan aku mengakuinya hanya kerana aku harus bertembung dengan tembok batu dan tak terkuat merobohkannya.

    Persis tembok batu sebegitu betul-betul seperti tenteramnya jiwa, lagaknya benar-benar ia terkandung sedikit-sebanyak ketenteraman mudahnya kerana tembok batu cumalah persamaan ganda-dua-dapatnya-empat.

    Ah, bebel karutan apakah ini!

    Apakah tidak lebih baik memahami semua, peka semua, sedar dengan semua ketidakmungkinan dan tembok-tembok batu? Tidak untuk diikrarkan kepada mana-mana ketidakmungkinan ataupun tembok-tembok batu itu jika kamu benci untuk dihambakan mereka?

    Untuk mencapai yang paling tiada dapat disangkalkan gabungan logika rumusan-rumusan yang paling mengerikan sepanjang zaman ialah apapun disebabkan kamu sendiri jika berdirinya tembok batu, walaupun sekali lagi ia cukup jelas yang tidak sekelumit pun semuanya salah kau, lalu kemudian hendaknya kamu meminggir diri seenaknya malas-malas, senyap-senyap bersusah payah menggeserkan gigi kau, percaya dengan ilusi yang tiada seorang pun boleh memberangkan kau; bahawa benar-benar tiada matlamat untuk amarah mu dan kemungkinannya takkan mungkin ada matlamat untuk itu; bahawa semua perkara adalah pembohongan, suatu sihir, suatu pengabuian licik terup, ataupun lebih jelas suatu kacau-bilau yang dahsyat - tiada sesiapa tahu akan apa dan siapa.

    Tetapi sekalipun semua ketidakpastian dan sihir itu, kamu masih sakit kepala, dan semakin sedikit kamu tahu menjadi-jadi peritnya sakit kepala!

    {terjemahan} Catatan Dari Bawah Tanah 

    II

    Aku hendak sangat beritahu kamu sekarang, wahai budiman sekalian, samada kamu mahu mendengar ataupun tidak, kenapakah aku tidak pernah berhasil ingin menjadi sang serangga sekalipun. Sesungguhnya aku bersumpah kepadamu yang banyak kalinya aku berharap menjadi sang serangga. Tetapi begitupun tidak pernah memberi manfaat kepada ku.

    Biarku yakinkan kamu, budiman sekalian, yang untuk menjadi terlalu sedar ialah satu penyakit, benar-benar, sakit yang naif. Cukuplah dimiliki kesedaran manusia biasa untuk keperluan rutin harian, yakni, separuh atau suku daripada bahagian dimiliki oleh seorang lelaki arif di zaman abad kesembilan belas yang sedih ini yang, selain itu, sudah jatuh ditimpa tangga untuk menghuni Petersburg, bandar yang paling pening, kelam kabut, namun tersusun di seluruh dunia. (Ada bandar-bandar yang tersusun dan tidak tersusun).

    Cukuplah jika, sebagai contoh, untuk memiliki jenis kesedaran yang diiktiraf kepada penggerak-penggerak dan orang-orang kebanyakan.

    Kamu mungkin berfikiran yang aku menulis semua ini dengan keinginan untuk berlagak ataupun berlawak tentang penggerak-penggerak kita, dan yang pabila aku menggerodak pedangku layak pegawai askar ku cumalah disebabkan aku ingin berlagak, dan secara tidak berseni juga. Walau apa pun, budiman sekalian, siapakah yang ingin membuka pekung di dada, lagikan riak berkenaannya?

    Bagaimanapun, apakah yang dibebelkan oleh ku? Semua orang melakukannya; semua orang riak dengan kelemahan sendiri, dan aku mungkin melakukannya lebih dari semua orang. Tidak perlu kita berdolak-dalik tentangnya; aku mengungkitkan karutan. Juga, aku teguh berfikiran yang bukan sahaja berlebihan kesedaran, malahan apa jenis kesedaran pun ialah penyakit. Aku berkeras tentang itu.

    Tetapi ada bagusnya kita lupakannya buat seketika.

    Katakan pada ku: kenapakah ia berlaku setiap masanya hanya pada masa-masa begitu - ya, bibit-bibit itu - bila aku terlalu sedar tentang "keluhuran dan kecantikan", yang biasa dipanggil dulu, bukan sahaja aku berkesedaran tetapi juga bersalah ke atas perlakuan-perlakuan hina dimana - nah, dimana, sebetulnya, semua orang juga bersalah, tetapi dimana, biarpun disengajakan, aku cuma terdetik melakukannya tatkala aku dikeadaan paling sedar yang ia tidak sepatutnya dilakukan?

    Selagi aku lebih akur terhadap kebaikan dan semua yang "keluhuran dan kecantikan", lebih tenggelam aku ke dalam lurah paya dan lebih bersedia aku tenggelam ke dalamnya sepenuhnya. Namun masalahnya semua ini tidak berlaku secara kebetulan, tetapi seperti ia tidak mungkin berlaku sebaliknya. Layaknya semua itu keadaan norma ku, dan tidak sedikit pun suatu penyakit ataupun suatu tabiat buruk, jadi akhirannya aku tak perlu lagi menentang tabiat buruk ini.

    Ia berakhir dengan dengan aku hampir mempercayai (dan mungkin aku memang sebetulnya percaya) yang ini kemungkinannya keadaan norma ku. Pada mulanya, awalan yang terawal, maksudku, sungguh teruk penyiksaan yang aku terpaksa harungi ketika perjuangan ku itu! Aku tidak fikir yang lain-lain melalui pengalaman yang sama, dan seterusnya aku memencilkannya pada diriku sendiri seperti ia suatu rahsia.

    Aku berasa malu (dan kemungkinannya aku masih malu); ia terlalu malu sehinggakan ku rasa seakan suatu kegembiraan yang aneh, sulit dan keji tatkala, sesampainya aku di rumah di antara malam yang terhina di Petersburg, aku pernah menyedari sedalam-dalamnya yang sekali lagi aku sudah bersalah keatas beberapa perbuatan pengecut tertentu di hari itu, dan sekali lagi tiada gunanya di dunia ini meyesali nasi yang dah jadi bubur; lagipun secara sembunyi dan rahsia, aku pernah terus-menerus menyunguti, membimbangkan dan menyalahkan diri sendiri, ke peringkat akhirnya kegetiran yang ku rasai bertukar menjadi seakan suatu kemanisan yang patut dikutuk dan memalukan, dan kesudahannya menjadi kegembiraan yang benar dan pasti!

    Ya, bertukar ke kegembiraan! Menjadi kegembiraan! Aku pasti tentang itu.

    Sesungguhnya, apa yang dicakapkan oleh ku disebabkan aku perlu tahu sekiranya orang lain merasai perasaan kegembiraan yang sama.

    Biarku terangkan kepadamu.

    Perasaan kegirangan ketika itu hanyalah disebabkan aku betul-betul sedar terhadap kehinaan sendiri; kerana ku rasakan diriku telah menemui jalan buntu; bahawa tanpa syak lagi ianya teruk, namun tiada dapat dihindarkan; bahawa ketika itu tiadanya jalan keluar, dan aku tidak akan sekali-kali menjadi orang yang lain; bahawa sekalipun ketika itu masih ada sisa masa ataupun keyakinan untuk membisakan ku bertukar menjadi sesuatu yang lain, sangat barangkalinya aku akan menolak untuk melakukannya; dan jika aku ingin sekalipun aku masih takkan melakukan apa-apa, sebab sesungguhnya aku tak boleh menjadi suatu apa pun. Dan lebih penting - dan ini adalah maksud terakhir ku ingin ajukan - apa sahaja yang terjadi, terjadi sesuai dengan undang-undang kesedaran ampuh yang lazim dan asas dan dengan semacam kelembapan iaitu akibat langsung undang-undang tersebut, lalu oleh kerana itu kamu tidak hanya boleh tidak boleh mengubah diri sendiri, tetapi kamu semata-mata tidak boleh membuat apa-apa cubaan pun. Kerana itu ia bererti bahawa satu akibat dari kesedaran ampuh itu kamu boleh dikatakan betul untuk menjadi seorang perampas, sepertinya ia adalah saguhati kepada sang perampas yang dia sebenarnya adalah seorang perampas. Tetapi cukuplah....

    Tuhanku, sudah banyak dibebelkan olehku, bukankah begitu? Namun sudahkah ku menerangkan apa-apa? Bagaimanakah seseorang menerangkan perasaan kegirangan ini? Sungguhpun aku akan menjelaskan diriku. Aku akan meneruskan perkara ini sehingga ke kesudahan yang perit! Sebab itulah aku telah mengangkat pena ku....

    Sekarang, contohnya, aku seorang yang sangat angkuh. Aku menimbulkan keraguan dan cepat terasa hati lagaknya si bongkok atau si kerdil, tetapi sebenarnya ada beberapa saat hidupku bila, jika seseorang telah menampar muka ku, aku mungkin akan merasa sukacita biarpun begitu. Aku mengatakan sedemikian bukannya main-main: aku benar-benar pasti akan menjumpai sekalipun di situ semacam kenikmatan, kenikmatannya berputus asa, tanpa was-was, tetapi kehampaan juga punya detik-detik kenikmatan yang amat sangat, kegembiraan yang amat hebat, lebih-lebih lagi jika kamu kebetulan benar-benar sedar tentang kebuntuan yang dihadapi mu.

    Dan di situ, juga, maksudku, selepas mukamu ditampar, kamu akan diselubungi dengan kesedaran yang dirimu telah sama sekali dihina dan dicerca. Masalahnya ialah, tentu sekali, bahawa sebanyak mana sekalipun aku mencuba untuk mereka beberapa alasan untuk apa yang telah terjadi, kesimpulan yang didapati mesti merujuk kepada kesalahan ku sebagai permulaan, dan apa yang paling melukakan hatiku ialah aku tetap bersalah walaupun aku tidak dan, sepertinya, aku bersalah berdasarkan undang-undang alam.

    Pertamanya, aku bersalah kerana aku lebih pandai dari semua orang sekeliling ku. (aku sentiasa mengiktiraf diriku lebih pandai semua orang di dunia ini, dan kadangkala, ku jaminkan mu, aku juga malu kerana itu. Sekurang-kurangnya, seumur hidupku menoleh ke arah lain dan tak sanggup bertentang mata dengan orang.)

    Aku, akhirnya, bersalah kerana meskipun aku mempunyai sedikit kemurahan hati dalam diriku, aku masih akan menderita seribu kali disebabkan kesedaran tentang kesia-siannya. Kerana aku begitu pasti tidak akan tahu apa ingin ku lakukan dengan kemurahan hatiku - tidak juga untuk memaafkan, oleh kerana lelaki yang akan menampar mukaku mungkin melakukan sebegitu atas kepatuhan kepada undang-undang alam; tidak juga untuk dilupakan, kerana walaupun ianya undang-undang alam, ia tetap menyakitkan.

    Kesudahannya, sungguhpun aku ingin menjadi betul-betul kikir dan, sebaliknya, berhasrat untuk membalas dendam kepada lelaki yang menghina diriku, aku tidak mungkin menuntut bela kepada sesiapa atas apa-apa pun kerana aku takkan mempunyai keberanian untuk melakukan apa-apa biarpun aku boleh melakukannya.

    Kenapakah tidak aku mempunyai keberanian sebegitu? Baiklah, aku ingin mengungkap beberapa kata-kata berkenaan itu.

    {terjemahan} 
    MELANGKAH MENEROKA KEKUSUTAN EMPIRIKAL : CATATAN DARI BAWAH TANAH


    Di pertengahan abad ke-19, dalam ribut salji, di kota St. Petersburg, di antara lorong-lorong lacur, terperosok sekujur tubuh besar, merah matanya seperti kerasukan, sedang mengomel-ngomel sendirian - tertanya-tanya solilikui.
    Dia bagai gila; miskin, compang-camping, kemabukan, bercelaru, kusut, serabut, kontang, kepenatan, rabak, dan yang paling nyata dan jelas - tersiksa.
    Mulutnya terusan mengemam-ngemam membebel...

    Melangkaui usia zaman yang penuh kekacauan, kekecewaan, kemiskinan, berantakan - semasa ramai beralih ke kiri mencari-cari erti utopian socialism, semasa massa dibunuh, dipasak, disalib, dipaku, dia menipu takdir untuk terus hidup bergelumang desakan materi.
    Tika itulah ada suara pilu menyentap corong suara menjerit
    "Kita menyaksikan kelahiran Gogol baru!"


    Apa yang difikirkannya?
    Mengapa dia terdampar di situ keseorangan tanpa sesiapa simpati untuk mendengar walau sepatah apa pun yang dikatakannya?
    Gila? Melihatkannya, pasti sesiapa pun akan mengesahkan tuduhan gila itu.
    Dan sememangnya, wujud dirinya seperti adanya karakter-karakter fiksi hasilan sendiri - patologikal.

    Dialah satu-satunya manusia yang menjadi pedoman kepada sang Pemikir Nihilis, Nietzsche, untuk makna awal psychoanalysis; protagonis tak bernamanya merujuk kepada "The Last Man" (der letzte Mensch) iaitu antitesis kepada "Superman" si Nihilis.
    Agak ironis bilamana si Gila mengajak khalayak kembali kepada agama, sebaliknya si Pemuja bersungguh-sungguh meniup pergi asap candu agama. Berpusat kepada diri sendiri sebagai alam semesta, ku persembahkan humanis eksistentialisme tukang cerita mabuk judi.


    ***


    I

    Aku adalah orang yang sakit... aku adalah orang yang dengki.
    Tidak, aku langsung bukan orang yang baik. Aku percaya ada sesuatu yang tak kena dengan hatiku. Bagaimanapun, aku tidak tahu sehaprak apa pun berkenaan hatiku; juga tidak ku tahu samada ada sesuatu yang betul-betul tidak kena dengan diriku.
    Aku bukan di bawah rawatan perubatan, dan tidak pernah, walaupun aku menghormati bidang perubatan dan doktor-doktor.
    Tambahan pula, aku terlampau tahyul, sekurang-kurangnya cukup untuk menghormati bidang perubatan. (Aku cukup terpelajar untuk tidak menjadi tahyul; namun aku tahyul kerana semua itu.)
    Kebenarannya, aku menolak rawatan perubatan berdasarkan dengki semata-mata. Aku tidak yakin kamu akan memahami semua ini.
    Nah, aku faham.
    Aku tidak berharap yang aku akan berhasil untuk menerangkan kepada kamu siapakah sebenarnya di sini yang ku cuba untuk disakitkan hatinya dengan kedengkianku; aku cukup mengerti sepenuhnya yang aku tidak boleh 'menyakitkan' doktor-doktor dengan menolak untuk diubati oleh mereka; aku mengerti lebih dari semua orang yang dengan semua ini aku hanya menyakitkan hatiku sendiri dan bukan orang lain.
    Masih, kenyataannya kekal yang pabila aku menolak untuk diubati, itu cuma kerana dengki. Hatiku sakitkan ku - nah, biarkan sahaja ia sakit -
    makin sakit makin bagus.

    Sudah sekian lamanya aku hidup sebegini - lebih kurang dua puluh tahun seingatku. Umurku empat puluh tahun sekarang. Aku pernah berkhidmat di Perjawatan Awam dan aku sudah bersara sekarang. Aku dulu ialah seorang Penjawat Awam yang dengki. Aku sangat biadab dan mendapat kepuasan dengan itu. Diingatkan, aku tidak pernah menerima rasuah, jadi sekurang-kurangnya aku ada sesuatu untuk diganti-rugikan untuk itu. (Lawak yang bodoh, namun aku tidak ingin melepaskannya. Aku menulisnya dengan harapan ia akan berbunyi sangat lucu,tetapi sekarang aku cuma nampak yang diriku hanya ingin memuaskan diriku dengan riak picisan, aku sengaja biarkan ia sendiri!)

    Apakala orang pernah datang ke pejabatku atas urusan perniagaan, aku terkerenyang-kerenyang pada mereka dan terasa kepuasan Menumbuk bilamana aku berjaya membuatkan salah seorang darinya merasa tidak selesa.
    Aku hampir selalunya berjaya.
    Mereka biasanya sekawan yang pemalu: apa lagi yang dapat diharapkan dari orang yang datang ke pejabat kerajaan? Namun dikalangan budiman yang pernah datang untuk bertanya kepada ku ada pernah seorang khususnya yang aku tidak dapat tahan. Beliau hadir bukan dengan adab yang baik sebaliknya ada tabiat menggerencangkan pedangnya yang menjengkelkan.
    Selama enam belas bulan aku sentiasa berperang dengannya pasal pedang itu, bila akhirnya, dia mengalah.
    Dia berhenti bergerodak.
    Apapun, semua ini berlaku lama dahulu ketika aku masih muda. Lantas tahukah kamu, wahai budiman sekalian, apakah matlamat utama kedengkianku?
    Nah, keseluruhan matlamatnya, maksudku, kesemua kejijikan, kejengkelan masalah ialah setiap masanya aku dalam keadaan berputih-mata sedar - biarpun dikala ketika kemarahan yang amat sangat - yang aku bukanlah orang dengki ataupun seorang yang panas baran, cuma aku hanya menakut-halaukan burung-burung pipit tanpa sebab musabab [frightening sparrows for no reason in the world], dan amat terhibur dengan masa lapang sebegitu.
    Aku mungkin berbuih di mulut, namun hanya berikan ku beberapa barang permainan, berikan ku secawan kopi bergula, dan aku takkan langsung terkejut jika aku akan tenang semena-mena, langsung terharu, walaupun kemudiannya aku mungkin bisa kembali terkerenyang-kerenyang dengan diriku sendiri dan tersentak malu lalu menanggung insomnia berbulan lamanya.
    Begitulah peribadinya aku.

    Tadi aku hanya mengheboh-besarkan yang diriku adalah Penjawat Awam yang busuk hati. Apa yang ku buat sebenarnya, adalah untuk menghiburkan diri dengan peristiwa lelucon pegawai atau orang yang pernah datang ke pejabatku atas hal perniagaan,sebab sebenarnya, aku takkan mungkin menjadi orang yang busuk hatinya.
    Aku sangat sedar terlalu banyak unsur-unsur dalam diriku yang menunjukkan sebaliknya. Aku terasa mereka menggerumit-menggeramat sepanjang hidup dalam diriku dan meminta untuk dibebaskan, tapi aku takkan biarkan mereka.
    Aku tidak akan lepaskan mereka! Aku sengaja takkan lepaskan mereka.
    Mereka menyeksa ku ke tahap membuatku malu terhadap diriku sendiri; mereka membelasahku ke taraf tidak keruan dan, akhirnya, aku meluat dengan mereka.
    Oh, betapa meluatnya aku dengan mereka tika itu! Begitupun tidakkah terdetik di hati kamu, budiman sekalian, yang aku seharusnya memohon maaf mu atas sesuatu? Ya, aku yakin ku perlu...
    Nah, aku langsung tidak peduli kiranya yang ia nampak harus atau tidak harus ku meminta maaf kepada mu...

    Bukan sahaja aku tidak menjadi pendengki, aku langsung tak tahu jadi apa-apa pun, samada pendengki ataupun si baik hati, samada si putar belit biarpun si jujur, samada sang wira ataupun sang serangga.
    Dan sekarang sudah empat tahun aku merajuk, memujuk diri dengan bayangan, walau cukup tidak berguna, kedengkian yang seorang lelaki arif mustahil menjadi apa-apa pun khususnya dan hanya si bodoh berkebolehan mengikut kemahuannya.
    Ya, seorang lelaki abad ke sembilan belas mesti, dan sesungguhnya terikat moral dirinya untuk, berada tinggi di atas semua orang yang tiada jati-peribadi; lelaki berperibadi, sebaliknya, seorang penggerak, kebanyakannya kalangan yang terhad pemikirannya.
    Inilah kepercayaanku selaku lelaki empat-puluh-an.
    Aku berumur empat puluh sudah dan, diingatkan, empat puluh tahun bak seluruh hidup ini. Ia umur yang teramat tua. Adalah sesungguhnya tidak bermoral, kurang ajar, dan sial untuk hidup lebih dari empat puluh tahun. Siapakah yang hidup lebih dari empat puluh?
    Jawabkan untuk ku - seikhlas serta sejujurnya.

    Sebaiknya aku beritahu kamu siapa mereka itu - si bodoh-si bodoh dan si putar belit-si putar belit - merekalah!

    Aku tak kisah beritahu semua itu depan muka semua si tua-si tua - semua si tua-si tua berisi, semua si tua-si tua beruban dan berdaya tarikan itu! Aku akan beritahu satu dunia , celakalah aku kalau aku tak beritahu! Aku berhak berkata begitu, sebabnya aku sendiri akan hidup ke umur enam puluh. Aku akan masih hidup sampai ke umur tujuh puluh! Aku akan hidup hingga lapan puluh!

    Tunggu sebentar, izinkan ku menarik nafas...

    Aku percaya kamu mesti berfikiran, budiman sekalian, yang aku hendak menghiburkan kamu. Nah, di situ pun kamu silap. Aku sesungguhnya bukan jenis pelawak yang difikirkan atau mungkin terfikirkan oleh kamu. Apa pun, jikalau sakit hatinya dengan semua cakap kosong ini (dan dapat aku rasakan disakiti hati mu), kamu bertanya siapakah gerangan aku sebenarnya, seharusnya aku menjawab, aku ialah pesara Penjawat Awam kelas rendah, seorang pemeriksa kolej. Aku mendapat kerja di Perjawatan Awam kerana aku perlu makan (dan hanya itu sebabnya), dan bila saudara jauhku mewasiatkan ku enam ribu rouble setahun lalu, cepat-cepat aku meletak jawatan dari Perjawatan Awam dan melepak di penjuru kecil ku. Pernah sebelum ini aku tinggal di penjuru ini, tapi sekarang aku tinggal selama-lamanya di sini.
    Bilik ku adalah teruk, lubang menakutkan, terletak jauh dari pekan. Orang gaji ku ialah si tua kampungan, panas baran disebabkan terlampau bodoh, dan disamping itu ada bau busuk mengalir darinya.
    Aku diberitahu cuaca di Petersburg tidak begitu baik untuk diriku dan dengan sedikit tawaran yang ada ia amatlah mahal untuk tinggal di bandar Petersburg. Aku tahu semua itu, lebih tahu daripada semua yang berpengalaman dan bijak pandai-bijak pandai dan penasihat-penasihat. Tetapi aku tinggal di Petersburg. Aku tidak mungkin akan meninggalkan Petersburg! Aku tidak mungkin akan meninggalkannya - oh, namun ia langsung tidak bererti apa-apa jika aku tinggalkan atau tidak meninggalkannya.

    Apa sekalipun, apakah yang dibualkan oleh si lelaki terhormat dengan kekhusyukan yang amat sangat?

    Jawabnya: dirinya sendiri.

    Baiklah, jadi aku akan bercakap berkenaan diriku.

    Aku Malas/Lembab/Lembu 
    "Silence means jacking off" - Anonymous

    Aku agak terlalu malas mengemaskinikan blog bebelan picisan ni, sungguhpun ada figmen pecahan tulisan dalam buku nota kecil ku. Alasan hadangan-penulis memang tak boleh diterima sebab secara esensinya memang aku bukan seorang penulis (atas dasar ada 'kata pujangga' yang mengatakan jika aku boleh hidup tanpa menulis aku tak perlu sibuk menjadi penulis). Lihat, bunyinya kosong dan hambar, memang benarlah aku tak boleh menulis!

    Labels: